Suku Karen Paduang








































































































Suku Karen Padaung
Suku Karen Padaung adalah suku dari pedalaman Myanmar, suku ini berpindah ke perbatasan Thailand-Myanmar ketika Myanmar dilanda perang. Sekarang mereka tinggal di sebuah desa di daerah perbatasan Thailand-Myanmar, desa ini sudah tertata rapih, untuk masuk ke desa ini harus membayar di loket yang berada di depan gerbang atau gapura, desa ini sudah seperti dikelola pemerintah setempat terutama untuk mendongkrak industri pariwisata yang mendatangkan devisa bagi negaranya, dunia pariwisata sering dipersalahkan karena mendorong wanita-wanita suku Karen paduang untuk tetap memakai gelang-gelang di lehernya, Banyak yang menyebut desa ini seperti “human zoo”.
Uniknya wanita Suku Karen Paduang memakai gelang-gelang besi di leher dan di bawah lututnya, berat gelang besi di leher hampir mencapai 5 kg dan gelang di kaki di bawah lutut hampir 2 kg, berarti mereka setiap hari beraktifitas dengan membawa beban 7 kg setiap harinya mereka beraktifitas dengan menjual cinderamata dan menenun kain sedangkan para laki-laki bekerja di ladang.
Mengapa mereka memakai gelang di lehernya? banyak cerita, konon agar leher mereka tidak digigit binatang buas karena mereka dahulu tinggal di hutan-hutan, seperti nenek moyang mereka yaitu burung phoenix dan juga semakin banyak gelang di lehernya berarti semakin tinggi leher mereka maka akan terlihat semakin cantik. Tidak bisa dipungkiri bahwa gelang-gelang ini dapat merusak tulang leher seiring bertambahnya usia mereka karena semakin bertambah umur maka akan di tambahkan pula gelang-gelang di lehernya.
Suatu tradisi yang indah tetapi menyiksa, entah apakah ini bisa dibilang sebuah keindahan atau siksaan, semoga ini tidak ada unsur paksaan untuk tetap memakai gelang-gelang di lehernya tapi karena memang mewariskan budaya mereka. 

NIGHTSCENE










































































SUARA PEMBARUAN DAILY

 Sepenggal Malam di Kota Besar

















Rizky Ariefanto
Patung Sudirman dipotret di malam hari karya Rizky Ariefanto yang dipamerkan Galeri Foto Jurnalistik Antara.
Kehidupan terus berjalan. Aktivitas pun selalu berdenyut di tengah kota. Seakan tidak pernah berhenti. Mulai dari pagi sampai malam hari, ada saja orang yang mencari nafkah. Mereka rela berbuat saja. Ada yang berprofesi sebagai penari, dan ada yang masih berdagang di tengah kota. Padahal, waktu telah beranjak memasuki dini hari. Anak kecil pun terpaksa hidup di jalan. Sepertinya kurang diperhatikan.
Begitulah aktivitas di tengah kota. Banyak berdiri bangunan megah, namun tidak sedikit warga yang hidup untuk bertahan saja. Bila pagi hari kota dipenuhi pekerja, lewat tengah malam hari seakan diserahkan kepada orang pinggiran saja. Selebihnya, mungkin dinikmati oleh pencari hiburan malam. Berjoget dan berdisko, mencari kepuasan. Aktivitas itu pun tetap sama, dan berlanjut sampai keesokan harinya.
Drama kehidupan itu hadir dalam pameran foto"Nightscene Photo Exhibition" yang diselenggarakan mahasiswa pecinta fotografi di Galeri Foto Jurnalistik Antara Jl Antara No 59, Pasar Baru, Jakarta, Jumat (11/7) malam. Para mahasiswa tersebut tergabung dalam Panorama, organisasi yang mewadahi klub-klub fotografi mahasiswa yang berada di bawah naungan sebuah lembaga perguruan tinggi.
Kurator Foto Jurnalistik Antara, Oscar Motuloh memuji mahasiswa itu karena dapat mengeksplorasi waktu pada malam hari. Foto tersebut merupakan tajuk untuk menampilkan kota-kota di tempat mahasiswa berada. Ada yang memilih varian-varian fotografi malam hari, seperti urban landscape, potret, keseharian dengan detail. Bahkan di antara peserta pameran foto ada yang percaya diri, menyajikan karya personal yang puitis.
Menurut Oscar Motuloh, keberanian mahasiswa dalam Nightscene patut didukung semua kalangan yang memiliki komitmen dalam mengapresiasikan kota. Lebih dari sekadar melihat dari permukaan yang verbal, dalam dunia dokumenter jurnalistik, Nightscene merupakan upaya visual yang mencoba menjangkau sisi-sisi sosial, humanistik dari belahan beberapa kota di Indonesia.
"Seperti cahaya yang mengilhami fotografi dan peradaban, penggalan-penggalan malam secara visual oleh mahasiswa, adalah suatu upaya independen yang sangat pantas disimak, sebagai cara pandang generasi terhadap dunia di sekitar mereka. Para fotografer muda ini menyajikan foto dengan cerdas," ujar Oscar.
Ia menganggap karya foto mahasiswa mengisahkan sepenggal malam. Konon, bumi kita, pada awalnya dulu sangat gelap. Tidak ada bentuk, tak ada pula perspektif. Tidak ada peradaban dalam kegulitaan. Suatu ketika, secercah cahaya menerobos ufuk hitam tak bertepi. Meruntuhkan keangkuhan awan kegelapan. Perlahan namun pasti, bumi kemudian menemukan atmosfernya.
Dari berkas sinar itu juga kreativitas umat manusia berpangkal. Ketika roda berputar membelah waktu, malam lalu datang menjelang. Kegelapan pun kembali berkuasa untuk sementara. Peradaban manusia kemudian menemukan momentumnya, tak ada lagi dikotomi waktu secara verbal. Tidak ada pula perspektif malam sebagai mitos kegelapan. Kota miliaran rupiah sudah menikam cahaya.
Menyentuh Perasaan
Mahasiswa yang berperan dalam pengambilan foto pada malam hari tersebut adalah Matahari Mahadika dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Lavanda Wirianata dari Interstudi Jakarta, Nita Femilia mahasiswi Stikosa AWS Surabaya, Andi Novandi Widiantama dari Universitas Persada Indonesia YAI Jakarta, Aditya Winarso dari Universitas Gunadarma, juga Afif, Ambo, Andi Maulana, dan Andre.
Mahasiswa lain yang memberikan kontribusi adalah Andi Sam, Aditia Noviansyah, Ardhy Fernando, Bagus Anugrah, Satria Bayu, Brama Danuwinata Ramadhan, Budi Asthoni, Budi Setiawan Tampubolon, Chandra Ungkas, Moh Mishbahul Fuad, Dendy Priangga, Deodotus Alvika Yeno Magta, Dhemas, Didi Mugritima, Setio Eko Widodo, Doni Faisal, Dwi Andri Wicaksono, Fasya, Aditya Fachrizal Hafiz, dan I Gede Mangku Antero Jaya.
Masih ada sederet nama lagi, yakni Irfan Fauzie, Jimmy Indra, Mazini Hafizhuddin, Michael Eko, Mulkan, Nita, Octa Cs, Rahmad Nugroho, Rani Octavia, Suci Rahayu, Sumaryanto Bronto, Thoriq Ramadani, Ticha Hestiningrum, dan Rizky Ariefanto. Secara keseluruhan, mereka merupakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
"Sebagian di antara karya mereka sangat menyentuh perasaan. Apalagi ketika melihat foto seorang anak yang mencari ibunya. Ini sangat miris. Selain itu ada foto wanita yang mencari nafkah dengan menari maupun berdagang sampai lewat tengah malam," ujar Dewi Lestari (30), pengunjung pameran tersebut.
Matahari Mahadika, misalnya, memberi judul karyanya Berlari Mengejar Harapan. Foto tersebut menggambarkan beberapa anak yang menawarkan jasa di bawah lampu merah saat malam hari. "Mereka menentukan nasibnya sendiri, terus melangsungkan hidup untuk esok hari. Kegiatan ini berlangsung setiap hari," begitulah rekaman kamera Matahari Mahadika.
Ia juga mengambil gambar seorang anak kecil yang seharusnya sudah berada di rumah dalam dekapan sang ibu, sedang berkeliaran sendiri di luar lewat tengah malam. Di Manakah Sang Ibu, tanya Matahari Mahadika.
Lavanda Wirianata mengambil objek enam anak kecil yang sedang merokok di Bundaran Hotel Indonesia. Anak-anak yang seharusnya menjadi generasi bangsa tersebut sepertinya sudah putus sekolah, dan mungkin tidak memiliki masa depan.
Potret kehidupan itu sama dengan objek yang diambil Chandra Pamungkas. Ia mengambil objek tentang kehidupan Kota Jakarta, yang sarat kesibukan dan budaya modern, dalam karya Menanti Tampil dan Jiwa Kewanitaan.
Nita Femilia, pada kesempatan itu menampilkan karya foto Gemerincing Pembuka, yang mengisahkan pahitnya sebuah kehidupan malam.
Di dalam sebuah ruangan berukuran dua kali dua meter, dihiasi cat yang sudah serbamengelupas, serta diterangi cahaya lampu hanya 15 watt, hanya perasaan suka yang mereka miliki, meskipun penghasilan hanya senilai sebungkus rokok.
"Yang penting bisa melestarikan kebudayaan leluhur," begitulah kata salah seorang wanita yang di foto itu. Wanita tua yang menjadi objek kamera Nita adalah penari tarian asli Jawa Timur, Remo. [AHS/A-18]

Last modified: 18/7/08